Apakah janin mampu mendengar suara ibunya? Suara musik? Pada umur kehamilan berapakah janin mampu mendengar? Dan pertanyaan yang lebih kompleks lagi: mampukah janin belajar?
Pemikiran bahwa individu dipengaruhi oleh pengalamannya saat berada di dalam kandungan telah ada sejak awal mula adanya ilmu pengetahuan. Aristoteles di dalam De Generatione Animalium berspekulasi bahwa saat dalam kandungan untuk pertama kalinya perasaan didapatkan.
Tahun 1960, Locke, dalam Easay Concerning Human Understanding memperdebatkan kemungkinan janin mampu membentuk suatu gagasan. Namun,, pemikiran-pemikiran seperti ini ditentang oleh Rousseau, yang memandang janin sebagai makhluk yang tidak bisa apa-apa.
Kemampuan mendengar janin
Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan berlangsung sangat pesat. Telinga misalnya, mulai terbentuk pada minggu ke-3 kehamilan dan terbentuk sempurna sekitar 21 minggu kemudian.
Karena telah memiliki struktur seperti layaknya telinga normal, maka semestinya telinga janin usia 24 minggu tersebut sudah dapat mendengar. Pernyataan ini telah diuji oleh para ahli. Mereka menemukan bahwa janin telah dapat mendengar secara aktif saat telinga telah terbentuk sempurna. Bahkan, beberapa ahli lain menyatakan bahwa di usia 16 minggu, janin sudah dapat mendengar suara dari alat periksa USG (ultrasonografi).
Beberapa bukti lain bahwa janin memang benar-benar mendengar adalah :
Detak jantung janin melambat ketika ibunya berbicara. Hal ini memberikan kesan bahwa janin mendengar dan mengenali suara ibunya (William Filer, Ph.D, Columbia University).
Janin dapat membedakan suara ibunya dengan suara orang lain (Queens University, Ontario).
Janin dapat mendengar bunyi-bunyian. Saat diperdengarkan bunyi-bunyian, bayi, yang dipantau dari USG, akan mendekati sumber bunyi-bunyian tersebut (Dr. Barbara Kisilevsky, Queen's School of Nursing).
Kemampuan belajar janin
Penelitian-penelitian yang mempertanyakan perilaku janin, khususnya kemampuan belajarnya, baru dilakukan pada abad XX. Tahun 1925, Peiper untuk pertama kalinya meneliti hal ini. Ia mengamati reaksi gerakan janin pada akhir masa kehamilan akibat bunyi keras dan melengking dari sepeda motor yang berada dekat dengan perut ibunya. Janin ini ternyata membuat suatu gerakan yang nyata. Jika percobaan ini diulang-ulang ternyata janin tidak lagi bereaksi. Peiper menarik kesimpulan bahwa janin mampu mendengar.
Penelitian-penelitian mutakhir dengan peralatan canggih dan metodologi yang lebih baik terfokus pada dua bidang: perilaku janin dalam kandungan, dan bayi yang baru lahir. Feijee (1981, melaporkan, janin usia kehamilan 30-37 minggu yang pada awalnya selalu bergerak, akan menghentikan gerakan setelah diperdengarkan musik yang sama untuk ke-24 kalinya. Efek ini mampu dipertahankan setelah bayi tersebut lahir 6 menit: bayi berhenti menangis, membuka matanya, dan lebih tenang saat ia diperdengarkan musik yang pernah didengarnya saat di janin.
Jadi, janin menjadi terbiasa dengan rangsangan yang sama. Efek kebiasaan yang sebenarnya bukan sekadar adaptasi dilaporkan mampu diperlihatkan oleh janin usia kehamilan 28-37 minggu (Madisen, 1986). Kebiasaan ini dapat berefek menurunkan reaksi gerakan tubuh juga detak jantung.
Penelitian pada bayi baru lahir dilakukan oleh Salk (1962), menunjukkan, bahwa bayi baru lahir dapat bereaksi terhadap nada dengan frekuensi normal detak jantung ibu, dan menjadi gelisah saat diperdengarkan nada 72 kali/menit, berat badannya lebih besar, jarang menangis, juga lebih cepat tertidur.
Pada umur 3 hari, bayi mampu mengubah pola mengisap puting susu ibu jika mendengar suara ibunya, tetapi tidaklah demikian dengan suara ayahnya (Casper, Spencer 1980). Demikian juga halnya saat diperdengarkan cerita novel yang telah dibaca ibunya saat mengandung, sekalipun cerita tersebut dibacakan oleh wanita lain (Casper, Spencer 1986).
Bagaimanakah mekanisme belajar janin tersebut? Menurut Rappert (1988), peneliti laboratorium Chronobiology Harvard Medical School, janin dapat mengenal suara dan cahaya dari luar melalui mekanisme konduksi pasif melintasi jaringan tubuh ibunya. Sedangkan menurut Salk (1960), janin belajar mengenal detak jantung ibunya melalui mekanisme "imprinting".
Implikasi
Pengetahuan psikeanalisis menyebutkan bahwa pengalaman-pengalaman di dalam rahim atau selama proses kelahiran dapat mempengaruhi perilaku, emosi, dan sikap di kemudian hari.
Teknik-teknik regresi sampai periode sebelum lahir telah digunakan untuk menanggulangi bermacam-macam gangguan, walaupun masih dipertanyakan apakah metode ini bermanfaat. Saat ini masih menjadi perdebatan luas, masa trimester I kehamilan dapat merupakan awal mula dari gangguan-gangguan depresi, anxietas, phobia, paranola, dan sikzefrenia.
Kemampuan belajar janin, secara tidak langsung menunjukkan janin mampu menerima rangsang senseris, berasosiasi, dan mengingat. Adanya kekurangan dari kemampuan tersebut mungkin merupakan indikator gangguan-gangguan di masa mendatang, misalnya ketidakmampuan belajar, atau adanya retardasi mental.
Secara teoritis, jika janin dapat mengalami hal-hal yang positif selama dalam rahim, maka hal yang sebaliknya mungkin juga terjadi. Salah satu teori terjadinya depresi pada seseorang adalah belajar tidak berdaya. Ini dapat terjadi jika ia mendapatkan suatu rangsangan yang tidak dikenali, tak terhindarkan, dan ia tidak mampu menanggulanginya. Janin hanya memiliki sedikit kemampuan untuk menanggulangi rangsangan yang diterimanya. Beberapa rangsangan yang mungkin merugikan adalah suara keras, nikotin, dan yang paling menarik adalah stres.
Reaksi janin terhadap emosi ibu termasuk stres mungkin melalui hormon yang melindungi plasenta, peningkatan tekanan arterial ibu, atau peningkatan tonus oto rahim yang dapat membatasi ruang geraknya.
Apakah rangsangan-rangsangan tersebut merugikan janin, masih dipertanyakan. Yang sudah jelas, rangsangan-rangsangan tersebut tak dikenal, tidak dapat dihindari dan tak tertanggulangi.
Kelahiran janin dari ibu yang mengalami stres akan menyebabkan bayi lahir dengan predisposisi menderita gangguan jiwa di kemudian hari. Pada kondisi ketidakberdayaan tubuh akan banyak mengeluarkan hormon kortisol yang dapat menyebabkan turunnya daya kekebalan tubuh dan pada gilirannya nanti akan menyebabkan penyakit-penyakit psikosomatis.
Sayang pengetahun kita saat ini mengenai perilaku janin khususnya kemampuan belajarnya belum lengkap. Populasi normal kemampuan belajarnya yang sangat diperlukanuntuk pedoman diagnesis belum diketahui.
Namun, dengan bukti-bukti bahwa stimulasi janin mampu meningkatkan perkembangan fisik, kematangan, dan kemampuan bayi, maka stimulasi umum pada janin tampaknya merupakan alternatif yang dapat dipilih.
Dengan adanya kemajuan teknologi dan peningkatan minat meneliti perilaku janin, maka di masa mendatang pengetahuan ini akan sangat bermanfaat, tidak hanya di bidang kedokteran jiwa tetapi untuk membentuk manusia-manusia berkualitas sejak di dalam kandungan.
sumber:
1.Wartamedika 27 Juli 2008
2.Kompas,Senin, 26 Mei 2003, Audrey Luize Dokter alumnus Universitas Airlangga, Surabaya
Related Post |
No comments:
Post a Comment